Sejarah reformasi protestan atau disebut juga Reformasi Gereja atau Reformasi Eropa masih tercatat dengan jelas di berbagai catatan sejarah negara Eropa. Sebab gerakan besar dalam Kekristenan Barat pada abad 16 ini memang berdampak besar bagi Benua Biru.
Perpecahan agama yang bermula dari dugaan kesalahan, penyalahgunaan, dan ketidaksesuaian dalam Gereja Katolik memicu perpecahan besar. Kemudian memunculkan reformasi serta kemunculan protestanisme.
Hal-hal Penting dalam Sejarah Reformasi Protestan
Abad ke 16 merupakan masa pergolakan di Eropa, banyak peperangan terjadi bahkan berlansung cukup panjang. Salah satunya adalah Perang Tiga Puluh Tahun yang pecah pada tahun 1517 hingga 1648.
Masa reformasi menghadirkan protestanisme ada banyak hal atau kejadian penting terjadi, misalnya beberapa hal berikut ini:
1. Penanda Akhir Abad Pertengahan
Sejarah reformasi protestan tercatat sebagai penanda dari dimulainya periode baru dalam sejarah Eropa. Pada tahun 1517 saat dimulainya reformasi protestan dianggap mengakhiri abad pertengahan dan dimulainya periode modern awal.
Pada masa tersebut terjadi pergolakan agama, politik, dan intelektual sehingga lahirlah protestanisme. Gerakan yang dimulai oleh para reformis, mereka menyuarakan kritik terhadap Gereja Katolik mengenai otorisasi kepausan.
Para reformis, terutama Martin Luther, John Calvin, Ulrich Zwingly, dan Henry VII mempertanyakan berbagai penyalahgunaan serta ketidaksesuaian Gereja Katolik sebagai pusat politik dan budaya kekristenan Eropa.
Suara-suara kritis berujung pada reformasi protestan yang menyebabkan perpecahan gereja barat menjadi dua kubu, yaitu Protestantisme dan Gereja Katolik Roma.
2. Tantangan Agama dan Politik
Sejarah reformasi protestan berasal dari kritik dan pertanyaan dari para reformis mengenai otoritas tinggi Gereja Katolik. Mereka mengkritik dokrin-dokrin yang dianggap palsu serta mengutuk korupsi yang dilakukan Gereja Katolik Roma.
Gereja Katolik Roma telah menjadi pusat kegiatan politik dan kekristenan di Eropa sejak abad 15 Masehi. Kemudian saat memasuki periode renaisans, muncullah para reformis dari pemikir Barat karena terjadi penyalahgunaan kekuasaan Gereja Katolik.
Praktik korupsi yakni jual beli jabatan rohaniawan, adanya penjualan indulgensi (pembayaran pengampunan dosa), dan berbagai praktik yang bertentangan dengan ajaran Tuhan lainnya menjadi bukti kerusakan sistematik sehingga harus direformasi.
Dasar-dasar inilah yang mendorong para reformis memunculkan gerakan Reformasi Gereja untuk mengembalikan tatanan agama dan politik ke jalan benar.
3. Dimulai saat Publikasi 95 Tesis oleh Luther
Sejarah reformasi protestan Sebenarnya dimulai sebelum kemunculan 95 Tesis oleh Martin Luther. Ada beberapa tokoh yang mencoba melakukan perbaikan terhadap Gereja Katolik, seperti John Wycliffe, Peter Waldo, dan Jan Hus.
Akan tetapi, para sejarawan tersebut belum berhasil melakukan gerakannya. Barulah di tahun 1517, saat Martin Luther mempublikasikan 95 Tesis gerakan mereformasi gereja dapat mulai terlaksana.
95 Tesis atau Perdebatan tentang Kuasa Indulgensi merupakan daftar proposisi untuk perdebatan akademik. Ditulis oleh Martin Luther, professor teologi moral di Universitas Wittenberg, Jerman.
Di dalamnya terdapat tuntutan-tuntutan Luther terhadap apa suatu pelanggaran serta dianggapnya sebagai praktik penyalahgunaan kaum rohaniwan yang menjual indulgensi penuh berbentuk sertifikat untuk mengurangi dosa seseorang.
Menurut Luther pertobatan merupakan pertobatan rohani dari dalam batin, bukan sekadar pengakuan sacramental dari tengah. Indulgensi merupakan sesuatu yang membuat umat Kristen jauh dari pertobatan sejati dan kesedihan karena dosa.
Dalam 95 Tesis dituliskan mengenai tuntutan lainnya yang menyorot pada kesalahan, penyalahgunaan, dan ketidaksesuaian dalam Gereja Katolik. Kemudian tulisan ini menjadi cikal bakal dimulainya Reformasi Gereja.
4. Gerakan Awal Lainnya di Eropa
Selain dilakukan oleh Luther, dalam sejarah reformasi protestan juga tercatat gerakan lain yang dilakukan oleh reformis Eropa. Salah satunya di Swiss yang dilakukan Ulrich Zwingli.
Zwingli menyuarakan mengenai gagasan tentang reformasi Gereja Katolik. Tulisannya yang penuh kontroversi disuarakan dalam ceramah public dan media cetak. Salah satunya menyorot mengenai tradisi berpuasa selama Prapaskah.
Selain itu, juga menuliskan mengenai kebobrokan dalam hierarki gerejawi, mendukung pernikahan klerus, dan penggunaan citra-citra dalam tempat ibadah. Banyak pihak menentang Zwigli sehingga perang pecah antara dua kubu pada 1529.
Kemudian ada nama John Calvin, seorang reformator generasi kedua di Kota Jenewa. Seorang teologis yang berpengaruh pada tradisi reformasi Swiss. Calvin menyuarakan hal-hal serupa dengan Jwigli dan memiliki pengikut dengan nama Calvinis.
Terdapat juga reformasi di wilayah Eropa lainnya yang dikenal sebagai Reformasi Radikal. Hal ini menimbulkan gerakan-gerakan lain seperti Anabaptis, Moravia, dan Pietistik.
Reformis radikal ini menerapkan perubahan dokrin lebih ekstrem, seperti penolakan terhadap prinsip-prinsip hasil Konsili Nicea oleh Konsili Kalsedon yang berlangsung pada abad kuno akhir.
5. Gerakan Kontra Reformasi
Sejarah reformasi protestan mencatat gerakan perubahan dan peralihan yang terjadi selama 30 tahun. Pergolakan selama 3 dekade memicu perang, penganiayaan, dan berbagai hal lain yang membuat Eropa menjadi tidak aman.
Gereja Katolik menanggapi pergolakan tersebut dengan gerakan Kontra-Reformasi, diprakarsai oleh Konsili Trente. Upaya utamannya adalah untuk menghadapi Protestanisme.
Kalangan Yesuit, sebuah tarekat baru kala itu, melakukan upaya melawan protestanisme di berbagai wilayah Eropa. Hasilnya menjadikan Eropa terpecah antara protestanisme dan Gereja Katolik.
Eropa Utara (kecuali sebagian besar wilayah Irlandia) berada dalam pengaruh protestanisme. Eropa Selatan tetap Katolik sedangkan Eropa Tengah merupakan hasil konflik sengit.
Wilayah Eropa tengah yang paling terdampak dari serangkaian perang agama tersebut. Sebagian wilayah ini hancur dengan kubu-kubu yang masih menganut kepercayaannya masing-masing.
Abad 16 bisa dikatakan merupakan masa kelam Kekristenan Barat, karena banyak perang terjadi akibat permasalahan agama dan politik di wilayah Eropa. Sejarah reformasi protestan mencatat pergolakan dan perang terjadi selama tiga puluh tahun sebelum menemukan kata damai dari semua kubu yang bertikai.